Rabu, 22 Mei 2013

Diculik Lo’lok



Oleh Iswan Sual
 
 
 
Herdi tak pulang-pulang rumah sejak siang setelah kembali dari sekolah. Memang, dia sempat pamit pada ibunya untuk bermain dengan kawan-kawannya, anak-anak tetangga. Biasanya dia sudah pulang. Dan seharusnya begitu. Teman-temannya juga kini sudah asyik berkelakar dengan orang tua mereka di rumah. Jelas kedengaran dari rumah Herdi. Matahari sudah lama bersembunyi di balik samudra luas.
Agar keresahan tak semakin menggunung tak pasti, ibu Herdi mengunjungi rumah tetangganya satu per satu. Sambil bertanya dan melihat-lihat anaknya kalau-kalau ada di sana. Seolah ada bisikan sesuatu telah menimpah anaknya. Naluri seorang ibu begitu kuat. Dia yakin akan hal itu.
“Herdi dengang torang tadi. Da main sama-sama di belakang. Torang da bayoya di pohong-pohong kopi. Torang pangge-pangge pulang tadi mar dia nimau. Cuma bayoya trus,” ujar teman Herdi terbata-bata. Gugup karena merasa diinterogasi.
Satu jam telah berlalu. Kini ayah Herdi juga ikut mencari. Padahal dia baru pulang dari kebun. Profesinya sebagai Ma’gula dengan kerja yang amat berat sebenarya bisa menjadi alasan untuk tidak langsung turun tangan mencari anaknya. Kalian mungkin tahu bagaimana beratnya menjadi seorang Ma’gula.  Pagi-pagi sekali, kira-kira jam lima, dia bangun lalu berjalan kaki sejauh tiga kilo meter. Rerumputan yang masih basah oleh embun turut menyumbang rasa dingin ke tubuh lelaki itu. Menusuk tulang. Ngilu bukan main. Sasampai di sana satu per satu pohon enau dipanjatnya, turunkan sareng berisi air nira dengan menggunakan tali. Berikutnya mengiris pusu’ yang mengeluarkan nira itu.
Setelah semua pohon aren penghasil nira dipanjat, kurang lebih sepuluh, tiba waktunya menghidupkan api untuk merebus air nira. Sambil menunggu air susut, dia pun harus mencari kayu bakar di hutan yang agak jauh dari sabuah, pabrik tradisional dimana dia memasak gula. Saat penyusutan sudah mencapai tahap paling, air nira yang sudah menjadi kental dituangkan ke tempurung. Di ujung sore sekali lagi pohon aren dipanjat untuk diambil niranya kemudian direbus. Wah, pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan kesabaran luar biasa.
Jam dinding bermerk Sonny terpatri di dinding menunjukkan kini sudah pukul 21.00. Ayah Herdi sudah melaporkan ke Hukum Tua bahwa anaknya, satu-satunya tak pulang rumah sejak keluar pukul 10 tadi pagi. Pengeras suara yang diletakkan di ujung pohon tertinggi di tengah kampung berkoar-koar menghimbau seluruh warga menyiapkan alat penerang dan kelengkapan lainnya untuk menemani mereka mencari anak sembilan tahun yang hilang.
***
Jam 06.00 sore (sebelum dinyatakan hilang)
Tanaman kopi rimat berhimpitan membuat gelap lahan luas di belakang hunian penduduk berjarak 200 m dari rumah Herdi. Di tengah-tengah, terdapat beberapa tanaman dengan batang sebesar kaki orang dewasa. Tanaman itu condong nyaris merayap di atas tanah. Gerombolan anak tahun terakhir SD di kampung itu suka sekali datang bermain monyet-monyetan. Mereka doyan berayun berjam-jam sambil menirukan Tarzan atau bintang film silat Cina yang lagi populer di desa. Ayunan alamiah yang disuguhkan oleh tanaman kopi yang berjejer itu sangat memanjakan anak-anak. Mereka merindukan ayunan saat masih bayi sebelum disapih.
“Di, marjo pulang. So ja barinte. Kalu balama disini torang mo basa. Mo dapa mara eta’ ya!”
Bukanya menoleh pada temannya, Herdi malah sibuk berbincang sendiri. Begitulah anak-anak. Berbicara sendiri tanpa lawan bicara adalah hal lumrah. Mereka mampu mementaskan sesuatu secara monolog di atas panggung nirpenonton. Monolog itu bukan hanya bakat melainkan berkat lahir yang akan berangsur-angsur punah seiring dengan bertambahnya usia anak-anak.
“Herdi…Di…Herdi!”
Gerimis yang datang beriringan dengan kepergian matahari ke ufuk barat memaksa kawanan anak cepat-cepat pulang ke rumah mereka masing-masing. Herdi semakin serius dengan monolognya. Bukan monolog. Ternyata dia berdialog.  Dengan seorang-orang yang hanya bisa dilihat oleh dia sendiri. Mahkluk itu meminta Herdi akan terus bermain ayunan. Herdi pun merasa ibah dengan permintaan orang bertubuh kecil. Tiga kali lipat lebih kecil.
Mata Herdi merem. Dia serasa akan hanyut berlayar ke pulau kapuk. Tapi dia tak mau tidur. Dia ingin bermain ayunan di pohon kopi lagi.
“Ayo kita bermain lagi.”
Manusia bertubuh kecil itu terus mendesak. Wajah elok mereka menambah ketertarikan Herdi larut dalam permmeainan berayun dengan bergayut pada cabang-cabang pohon.
“Ayo ikut kami.”
“Kemana?”
“Ke tempat kami.”
Herdi pun turut dengan manusia kecil. Dan kini jumlah mereka meningkat. Bergerumbul mereka berjalan menuruni bukit. Kian jauh dari perkampungan. Akhirnya mereka tiba di pancuran. Tempat mereka biasa mandi. Banyak bebatuan berjejer dan bertumpuk.
“Masuk yuk!”
Dahi Herdi mengerut. Dalam keadaan setengah sadar muncul curiga dalam benaknya. Mengapa aku harus masuk ke celah batu. Mana bisa masuk. Gumamnya. Mahkluk-mahkluk kecil satu persatu masuk melalui celah. Ini tak masuk akal. Walaupun aku masih anak-anak, tapi ini benar-benar di luar jangkauan berpikirku. Kata Herdi dalam hati.
“Kita pulang saja yuk,” ajak Herdi pada mahkluk kecil yang paling banyak berkomunikasi dengannya semenjak sore tadi. Berkali-kali mahkluk mengajar menembus celah batu, namun Herdi tetap menolak.
Mereka pun kembali menelusuri jalan yang mereka lewati sebelumnya. Yang mengherankan, hari sudah malam namun jalan dimana mereka melangkahkan kaki terang benderang seperti mendapat cahaya lampu sorot.
“Ayo kita berayun lagi.”
Kini Herdi lupa untuk pulang. Namun hatinya resah. Dia melihat orang jumlah besar dengan obor dan lampu petromaks menuruni bukit menuju pancuran dari mana dia dan kawan kecilnya datang. Orang betulan. Bukan mahkluk kecil. Dipanggilnya ayahnya yang lewat. Tak ada sahutan. Dilihat pun tidak. Herdi diliputi ketakutan. Dengan susah payah dia melangkah pulang ke rumah. Di halaman rumah dilihatnya banyak wanita dewasa dan anak bergunjing tetang sesuatu hal. Tentang seorang anak yang hilang. Dia menyapa orang-orang itu. Tapi mereka tak sedikit pun ambil pusing. Herdi menjerit tak bersuara.
“Herdi! Herdi! Oh Tuhan, napa tu Herdi, “ seorang wanita berteriak Histeris. Di kuping terdengar dengungan memekak. Orang-orang berkerumun. Menangis. Herdi pun histeris. Menangis ketika kerumunan secara bergantian menyentuhnya. Seperti hilang kekuatanya. Seorang wanita memeluknya dan mengguncang-guncangnya. Herdi terbangun dari setengah tidurnya. Kini tak ada lagi rasa takut.

BAGORO



Sebuah Cerpen oleh Iswan Sual, S.S
 
 
 
 
Dalam undangan diwajibkan kami harus berpakaian rapih- putih hitam. Lengan panjang berdasi. Jam 11.30 sudah harus di gedung Waleta. Undangan yang ditandangani camat Arindo berisi pesan yang sangat meyakinkan. Perasaan terhormat bersemayam dalam hati kami. Walau hanya di tingkatan kampung, kami adalah anggota legislatif. Anggota Badan Permusyawaratan Desa.
Mengingat acara ini penting dan bersejarah kami pun bersiap secara maksimal. Mobil Avansa carteran kami booking sehari sebelum hari H. Disepakati  ongkosnya Rp. 250.000. Sudah termasuk bensin dan sewa sopir. Jam keberangkatan kami pastikan ke ehnar, pemilik kendaraan, adalah 09.00 WITA.
***
Semenjak subuh hujan mengguyur. Hanya satu-satu orang terlihat lewat di depan rumah. Hanya mereka yang berprofesi sebagai ma’gula. Air yang ditampung semalam dengan berani kusiramkan ke tubuhku. Belum menyentuh kulit dinginnya telah merasuk hingga sumsum. Serasa mengoyak-ngoyak jantung. Waktu mandi kupersingkat hanya lima menit. Waktu tercepat seumur-umur hidupku. Hal biasa bagi orang Australia. Siswa kursusku, namanya Gledys, mengaku bahwa dia terbiasa mandi hanya selama lima menit. Dengan air seember. Menurut penuturannya, itulah salah satu cara pemerintah mengajar masyarakatnya menghemat air. Walaupun, sebenarnya Australia termasuk negara limpah air.
Kemeja putih dipadu celana panjang hitam sudah membalut tubuh. Air sedingin es serasa masih melekat pada daging. Jaket hitam kutambahkan membungkus tubuh yang terus bergetar bak sedang berjuang menahan tantangan musim salju di Amerika Utara.
“Pep…pep….,” bunyi klakson melengking menembus curah hujan yang lewat.
Jendela rumah kami kubuka lebar sambil menunjukkan setengah badan sebagai tanda bahwa aku telah siap untuk berangkat. Kututup lagi jendela. Diikuti tangan menarik sebuah tas carrier. Sebelum melewati pintu kuikat tali sepatu yang telah terurai panjang. Ayah menemaniku dengan payung berlari kecil bersama hingga ke pintu mobil berwarna perak yang terparkir di bawah pohon rambutan di depan rumah kami yang mungil nan tua. Sudah reyot lagi!
Aku adalah orang kedua yang menaiki mobil. Sopir menjemput aku pertama-tama agar dapat menunjuk jalan, siapa-siapa anggota Badan Permusyawaratan Desa yang akan ikut. Kusarankan agar kami mulai dengan menjemput satu anggota di kampung baru, Lumopa. Kira-kira lagijam Sembilan mobil telah selesai melaksanakan tugas penjemputan. Hujan masih terus mengguyur. Kepada sopir kami menyarankan untuk menembus guyuran supaya tidak terlambat dan melewatkan acara kenegaraan di aula kantor bupati.
Rasa mual muncul disebabkan oleh bau mobil plus kecepatannya. Mobil yang kami tumpangi tiba tepat waktu. Sayangnya, ketepatan dalam soal waktu tak mendapat sambutan hangat dari panitia atau apapun. Baru beberapa orang yang berada di gedung Waleta. Secara harafia Waleta (bahasa Tontemboan) berarti rumah kita. Sayangnya kami justru diperlakukan tidak hormat di rumah sendiri. Bupati menganggap itu rumahnya. Sang tuan rumah yang mengundang kami belum menunjukkan batang hidungnya sekalipun. Sekarang hujan sudah meredah. Gantian perut yang tak hentinya menggemuruh. Begitu kepala desa datang, kami langsung didesaknya menuju kota Tumpaan untuk makan. Kurang lebih satu jam kami di sana. Menikmati berbagai jenis menu, nasi, rangksak, babi kecap, ragei, sayur pahit, kolombi, bia, dan kacang goreng.
Bagi pemalu, pasti tak akan menambah sampai tiga kali. Dan terbukti saya dan dua orang lain sangat tidak tahu malu. Semua yang digelar di depan kami terlahap habis. Sampai perut hampir mau pecah. Bernafaspun menjadi susah. Segera sesudah itu kami kembali ke Waleta.
Rombongan manusia dalam jumlah besar terlihat memenuhi ruangan luas. Kursi-kursi tak satupun menganggur. Lautan manusia menciptakan suara riuh layaknya hujan deras dan lebat menghantam atap. Kami berdiri bingung mencari tempat untuk menaruh pantat. Lama berdiri membuat kaki terasa nyeri. Lima menit kemudian datang kursi-kursi plastik berwarna kuning. Sesuai warna partai Bupati. Padahal seharusnya bila sudah menjadi pelayanan masyarakat, tak perlu lagi menampakkan warna partai.
Kami pun duduk. Sekarang sudah jam 03.00 sore. Lautan manusia mulai kepanasan dan siap-siap menguap. Waktu serasa berjalan begitu lambat meskipun terus kami isi dengan bincang-bincang penuh lelucon. Ibu bupati, belum datang juga. Ibarat cengkeh, kami hampir matu’, kering. Ponsel kukeluarkan dari saku celana depan. Kuaktifkan akun jejaring sosialku. Pada wall Facebook tertulis status teman: Dasar! Pejabat selalu terlambat! Aku hanya tersenyum dan melayangkan pandang ke semua jurusan. Coba memindai siapa tahu orang itu dekat dengan kami. Tapi tak kutemukan.
“Bapak ibu sekalian sebagai keanggotaan BPD harap perhatikan. Kita akan gladi….” Kata seorang bapak dengan wajah seratus persen percaya diri. Berkali-kali dia menggunakan kata keanggotaan dalam kalimat yang seharusnya diisi dengan kata anggota. Barangkali kata ini lagi populer di lingkungan kantor bupati. Atau bisa saja  PNS yang berderet-deret dengan gelar dan bertingkat-tingkat pangkatnya kurang membaca Ejaan Yang Disempurnakan untuk bisa berbicara bahasa Indonesia yang baik dan benar.
“ ‘Pada saat saya bertanya apakah saudara  bersedia disumpah?’ dengan kompak bapa-ibu harus menjawab ya. Lalu, ‘Dengan agama apa?’ Bersamaan dan berurutan masing-masing pemeluk agama menjawab, “Kristen! Katolik! Islam!”
Suara nyaring terkesan sekali dibuat-buat oleh MC. Berkali-kali dia mengingatkan kami agar berdiri tegap. Yang menjengkelkan dan membosankan adalah berdiri lalu duduk, berdiri lagi lalu duduk lagi. Menurut MC kami harus serius karena itu acara resmi. Itu aku setujui. Tapi cara dia bicara pada kami itu terlampau meremehkan.
Selain itu dia juga bicara ke orang-orang di luar ruangan. Kalau dihitung-hitung, lebih dari sepuluh kali microphone digunakannya pula untuk mengingatkan agar tamu yang datang tidak memarkir kendaraan di depan gedung Waleta. Berkali-kali juga diundang agar rohaniwan mengambil tempat di depan. Riuh kian memekakan telinga. Orang-orang mengeluhkan soal panasnya udara. Aku berusaha tenang-tenang saja. Karena kalau banyak bergerak udara akan tambah panas. Aku tak mau mandi keringat. Akan menimbulkan bau tak sedap.
“Hadirin sekalian kita sambut Bupati kita, Ibu Christy Eugenia Paruntu, SE.”
Kerumunan dengan spontan membalikkan badan melihat Bupati yang datang sangat terlambat itu. Tetapi dia masih berani senyum dan menyapa. Dasar! Pejabat selalu mau ditunggu. Tak bisa menjadi panutan dalam hal ketepatan waktu.  Tidak sedikit respek buatnya dariku. Bukanya berdiri, aku malah duduk-duduk saja. Beberapa orang lain juga begitu.
“Bukang main torang pe Bupati ini. Lama sekali dia bahodeng! Dia anggap torang klapa yang mo fufu! Emplas malo tatawa lei!” teriak seorang pria dalam keriuhan. Aku hanya duduk diam. Percuma mengomel. Bisa saja yang salah adalah panitianya. Kebiasaan panitia, bila mengharapkan orang datang jam dua belas, mereka akan menulis di undangan bahwa acara jam sembilan. itu karena orang Indonesia cenderung gunakan jam bagoro. Tapi, tentu orang yang tepat waktu akan merasa dilecehkan karena merasa dibohongi.

ADA CERITA DI JALAN NUSANTARA



Oleh Iswan Sual
 
 
 
Terlalu banyak disuguhi materi membuat kepala kami pusing. Sejak jam delapan pagi hingga jam lima sore pembicara tak henti-hentinya menjejali kami dengan materi bagaimana cara menfasilitasi masyarakat di desa-desa terpencil. Maklum, setelah ini kami akan turun ke lapangan yang punya budaya dan cara hidup yang sama sekali berbeda dengan kami. Barangkali itulah yang kami secara kompak jadikan alasan untuk keluar dan meninggalkan kamar hotel mewah kami malam ini. Padahal di rumah kami masing-masing kemudahan itu taklah tersedia. Begitulah manusia, meski sudah hidup dalam keserbaadaan, masih juga menuntut yang lebih! Manusia memang tak pernah puas.
 Setelah mandi kami bertemu di lobi hotel. Taksi berwarna hitam sudah menanti lama kami berempat. Tujuan kami adalah Mall Panakukang. Salah satu mall termegah di kota terbesar Indonesia timur. Sepanjang perjalanan kami bercandaria dengan logat Manado. Dahi sang sopir sedikit berkerut karena berusaha memahami kata demi kata dari tiga lelaki bermulut besar. Walau dibekali banyak kosakata yang didapatnya dari lagu-lagu pop Manado, masih terlalu sulit untuk memahami perbincangan ketiga temanku yang cepat dan bersusun-susun. Aku hanya diam. Menikmati kerlap-kerlip lampu. Juga jalanan yang macet dan bercabang-cabang. Dalam hati muncul rasa kagum terhadap kota yang kian hari kian sibuk. Pasti sangat jauh berbeda ketika Om Sam masih menjadi gubernur se Sulawesi dulu. Dulu namanya Ujungpandang. Kemudian berubah menjadi Makassar.
Tepat di bawah jalan layang kami diturunkan. Masih butuh banyak langkah untuk bisa tiba di dalam mall. Ada sedikit gerutu tergambar di raut wajah kami tapi langsung lenyap begitu melihat span-span[1] yang lalu lalang. Kami pun saling melirik nakal. Semakin ke dalam semakin berlimpah gadis-gadis muncul di depan wajah.
“Wei! Tunggu! Mo kamana ngoni!” teriakku. Sedikit pun tak ada rasa enggan dengan kalancanganku. Dalam hati kupegang sebuah perkataan, pembeli adalah raja. Jadi biarpun kami bertingkah sedikit kurangajar, tetap saja kami akan dihormati sebagai pembeli. Sebab kami ada sumber rupiah pengusaha-pengusaha yang bercokol di gedung yang disebut sebagai pasar modern ini.
“Sini! Laju! Pe plang ngana bajalang e.”
“Kita memang sangaja babrenti. Sini kwa…,” bujukku. Gerakan ibu jari diikut pandangan mata ketiga lelaki yang kesemuanya menggunakan celana pendek. “Ada artis. Torang pangge bafoto. Manjo! Pegang ni hape. Tindis di tenga e. nanti baku ganti.”
Gelagat kami yang memalukan mengundang perhatian orang di sekitar. Tertawa karena kelucuan kami sendiri membahana dan mempengaruhi pengunjung lain. Dari peristiwa inilah aku tahu ternyata Drisan adalah orang yang begitu egois. Foto yang dihasilkan kamera ponselku yang begitu buruk tidak dipedulikannya. Gara-gara ingin buru-buru difoto juga. Tapi itu tak aku persoalkan lebih jauh. Biarlah urusan di mall itu sampai di situ saja. Lagipula, kami datang ke mall dengan tujuan lain. Bukan untuk foto-foto dengan artis wanita yang mengenakan pakaian yang aduhai. Kaos di atas pusar dipasangkan dengan celana pendek sejengkal di atas lutut. Sampai-sampai burungku sempat bangun karena kegenitan busanannya.
Setelah tiba di lantai dua kami secara serentak berhenti di toko buku. Aku paling tidak tahan bila sudah bertemu dengan buku. Nyaris semua buku yang nampak hebat kusentuh dan kucium baunya. Langkah perlahan dari lemari ke lemari diikuti ketiga temanku. Tapi lama kelamaan mereka tak tahan dan berlalu. Berkali-kali aku memandangi dompetku. Membandingkan dengan total harga tiga buku yang telah kupilih. Karena isi dompetku sudah terlalu tipis keputusan membeliku jatuh pada Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama. Memang sudah lama aku impikan membeli kamus itu. Kata orang, kalau mau jadi sastrawan kamus itu wajib dibeli. Dua buku lain kutinggalkan di lemari dengan sedikit tak rela. Padahal kedua buku itu sudah begitu akrab denganku hampir setengah jam.
 “Bli apa ngana?” tanya Drisan sinis saat aku sudah berada di depan toko.
“Cuma ini.”
“Ih kyapa le ngana bli kamus. For apa le? Ngana mo lanjut S2? Pantas ngana so bota bagitu. Talalu banya basusa-susa babaca. Lebe bae ngana jadi dosen bukang jadi fasilitator di program torang!” semua pertanyaannya kujawab dengan gelengan kepala. Pernyataannya terasa pahit untuk ditelan tapi tetap juga kutelan demi menghindari pertengkaran. Kami kembali ke mobil dengan sedikit kata-kata. Kegaduhan beranjak jauh entah kemana. Sesekali kutangkap di cermin sopir yang bingung. Mungkin dia berharap akan mendengar kami bercakap lalu dapat kursus gratis bahasa Manado lagi. Dia mungkin bahkan sudah mempersiapkan beberapa kalimat bahasa Manado untuk sekedar berbasa-basi dengan kami.
“Apakah kita langsung pulang atau mau melihat-lihat dulu, bang?” kata sopir memecah kesunyian.
“Ada tampa yang bagus for mo dapa cewe?” kata Drisan blak-blakan, “antar kwa bang. Mo cari hiburan dulu. Hiburan yang butul-butul hiburan. Bukan sama deng tadi. Bukang ilang stres. Cuma tatamba tre.”
Aku tahu dia sedang menyindirku. Tapi biarlah. Dalam banyak hal kompromi itu perlu. Demi kedamaian.
“Kalau mau ada di jalan Nusantara bang.”
“Antar kasana jo dang bang.”
“Ah gila ngana! Nda usa bang!” tampik Ando. Reaksinya tampak begitu keras. Hingga membuat aku dan Lexy terhenyak.
“Ah ngana. Nda usa kwa talalu setia! Torang ini laki-laki. So itu depe kalebean. Kalu di ruma torang ada bini. Mar, kalu so jao bagini brarti torang masi bujangan. Torang lei kwa cuma mo balia. Nyanda mo main,” urai Drisan berkelit.
Begitu mobil berhenti, walau dengan sedikit ragu-ragu, aku turun mengikuti Drisan sang playboy. Ando dan Lexy kuajak juga. Dengan tingkah yang dibuat-buat seperti orang yang sudah pengalaman kami pun masuk ke dalam gedung yang di luar nampak lengang. Begitu kami diterkam mulut pub mataku terbelalak. Dalam ruang remang-remang dengan kepulan asap beberapa gadis menari nakal di atas panggung. Para lelaki bersorak. Sejurus kemudian beberapa pria berbadan kekar menyongsong kami. Sontak, aku keluar dari tempat itu. Berpura-pura menerima telpon dari seseorang.
“Jalan bang! Ayo!”
Secepat kilat kami telah berada kembali di dalam taksi. Tiga orang lelaki berjaket hitam tertinggal di belakang mengeluarkan sumpah serapah sambil mengacungkan pisau lipat ke arah kami.
“Amper. Kita kwa so bilang jangang. Bapaksa!” kataku dengan nafas terengah-engah.
“Ah! Ngana talalu panako! Bang, ada nda tampa lebe bagus. So tua-tua no. ada yang lebe muda dari tadi. So pece dorang no!”
“Di lorong depan ada yang masih SMP,” jawab sopir dengan tenang.
Kegembiraan tergambar di wajah Drisan. Sedang aku mulai dilanda kegugupan. Ando masih menggerutu dan marah. Drisan trus mengeluarkan kalimat-kalimat yang intinya mencelah kami karena tidak bersikap jantan.
Tiba-tiba mobil menepi. Kubalikkan badan menghadap ke depan. Drisan yang duduk di belakangku langsung menurunkan kaca mobil. Tampak sekitar lima orang gadis berkeliaran. Dua di antaranya sedang bercakap-cakap serius dengan dua orang pria yang masih di atas sepeda motor. Seorang gadis lain yang bertubuh sintal dan berkulit terang dengan mata tajam mengundang datang mendekat. Diketuk-ketuknya kaca mobil. Tetap saja kubiarkan tertutup rapat. Berkali-kali gadis itu berusaha menawarkan transaksi tapi aku hanya membalas dengan senyum sebagai tanda penolakan halus. Sementara Drisan terus saja tawar menawar dengan dua gadis yang cantiknya masih alami. Umur mereka sekitar lima belas tahun. Beberapa kali mereka tersandung dalam percakapan. Hanya karena kurang memahami bahasa Manado. Tiba-tiba dan tak disangkah-sangkah dua mobil polisi berhenti di depan taksi yang kami tumpangi. Semua gadis berhamburan hendak melarikan diri. Tapi semua ditangkap termasuk kami berempat dan si sopir. Saat diinterogasi kami mengakui kesalahan kami. Hanya saja Drisan terkurung satu hari lebih lama di sel karena interogasi tak tuntas. Polisi tak mengerti saat dia bicara. Drisan kesulitannya berbahasa Indonesia. Keesokan harinya kami menjenguk dia.
“San, mungkin ngana lei so musti bli kamus seblum pulang ke Menado. Supaya kalu torang bale ulang kamari, nda mo jadi bagini,” anjurku. Perut nyaris meledak menahan gelak. Dua temanku yang lain berjalan menjauh sambil terkikik-kikik.
Drisan memandangku kesal bercampur malu. Terpaksa kami berdusta kepada panitia tentang keadaan Drisan. Kami katakana bahwa dia sedang sakit agar panitia tidak curiga dan tidak memberikan surat pemutusan hubungan kerja.


[1] Span-span (Manado) berarti ketat. Namun kata ini telah mengalami perluasan makna. Kata ini juga berarti gadis atau wanita muda. Istilah ini lahir ketika para gadis dan wanita muda sedang suka berbusana ketat.